Sabtu, 26 September 2009

Kota Padang Sejarah


Kota Padang adalah salah satu Kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.

Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.

Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.

Selanjutnya :

7 Agustus 1669,
puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.

20 Mei 1784

Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur.

31 Desember 1799.
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.

1 Maret 1906.
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.

9 Maret 1950.
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.

15 Agustus 1950.
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang.

29 Mei 1958.
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975
Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.*

Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 Kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka jumlah Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.


Sejarah berdirinya Kota Padang

Terdapat 2 buah versi mengenai sejarah berdirinya kota Padang, yaitu: versi Tambo dan versi Hofman seorang opperkoopman di Padang pada tahun 1710 dan juga pengarang mengenai adat dan sejarah Minangkabau (terutama adat matrilineal). Opperkoopman sebutan pada wakil Belanda untuk suatu daerah yang belum ditaklukkan Belanda. Kota Padang belum ditaklukkan saat itu sedangkan untuk daerah jajahan Belanda seperti Ambon, Banda, Ternate dan Jawa penguasanya dinamakan Gubernur.

Kota Padang menurut Hofman, dinamakan Padang karena dulu merupakan lapangan besar dan luas yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi.

Pada awalnya tempat bermukim para penangkap ikan, pedagang dan petani garam yang dikepalai oleh seorang makhudun. Orang kedua yang menjadi kepala adalah dari golongan agama dari Passai yang bergelar Sangguno Dirajo.

Suatu saat terjadi peperangan antara orang padang dengan orang pegunungan dari XIII-Koto karena terbunuhnya Serpajaya oleh anak buah makhudun yang bernama Campang Cina. Dalam serbuannya yang pertama orang-orang dari XIII-Koto dapat dikalahkan dengan korban sebanyak 30 orang.

Karena takut akan serangan besar berikutnya, orang Padang mengirim utusan untuk berdamai yang bernama Datuk Bandaro Pagagar bersama wakil rakyat kota Padang. Ganti rugi yang diminta orang XIII-Koto adalah emas. Orang Padang keberatan dengan ganti rugi ini karena terlalu mahal dan mereka kebanyakan adalah nelayan.

Oleh karena itu ditawarkan separuh kota Padang dan bersumpah setia untuk tunduk kepada XIII-Koto, sejak saat itu orang XIII-Koto memiliki hak yang sama dengan orang Padang dan mendapat 4 dari 8 kursi penghulu di kota Padang.

Menurut versi Tambo, jauh sebelum orang pegunungan mendiami kota Padang sekarang, daerah itu merupakan hutan lebat yang masih didiami oleh manusia liar (urang rupit dan urang tirau).

Orang pertama yang turun ke Padang adalah dari Kubuang Tigo Baleh (Solok) yang dipimpin oleh Maharajo Besar suku Caniago Mandaliko dan memilih tinggal di Binuang dan kemudian menyebar diantara Muaro sampai Ikua Anduriang (Pauh IX).

Kelompok kedua yang datang adalah orang dari Siamek Baleh (antara Singkarak dan Solok) dan disusul dengan orang dari Kurai Banuampu (Agam). Mereka menetap dibagian timur daerah Maharajo Besar.

Diantara pemimpin yang baru datang ini adalah Datuk Paduko Amat dari suku Caniago Simagek, Datuk Saripado Marajo dari suku Caniago Mandaliko, Datuk Sangguno Dirajo dari suku Koto beserta saudaranya Datuk Patih Karsani. Konon Datuk Patih Karsani ditempat yang baru banyak mendapat benda berharga seperti porselen, pisau, meriam kecil dan sebuah pedang (padang). Maka menurut yang mempunyai cerita dinamakanlah kota itu Kota Padang.

[kembali ke atas]

Dibalik Hari Jadi Kota Padang

Tanggal 7 Agustus 1669 secara resmi dianggap sebagai hari jadi kota Padang yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Barat. Tahun 1669 dipakai sebagai hari jadi kota Padang karena pada tahun itu terjadi penyerangan besar-besar dari rakyat kota Pauh pada Belanda. Serangan kedua yang dilancarkan pada tahun 1670.

Tanggal 7 Agustus 1669, saat serangan pertama dijadikan sebagai hari jadi kota Padang karena tiga hal yaitu: Loji VOC dianggap simbol kekuasaan asing di Minangkabau, serangan itu semata-mata tidak hanya dilakukan oleh rakyat kota Pauh tetapi juga dibantu oleh sekelompok rakyat dalam kota Padang dan serangan tahun 1669 itu dilakukan setelah VOC resmi mengakui kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai Minangkabau dipegang oleh Yang Dipertuan di Pagaruyung sedangkan wakil VOC di kota Padang bertindak hanya sebagai pemerintah saja.

Selama serangan tanggal 7 Agustus malam tersebut, Belanda mengalami kerugian sebesar 20.000 gulden dan disebut seorang bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak dari serangan tersebut.

Pada tahun 1906, Padang resmi ditetapkan oleh Belanda sebagai pemerintahan (gemeente) yang diketuai Residen. Setelah Proklamasi 1945, daerah ini sah berstatus kotapraja, kemudian meningkat menjadi Daerah Tingkat II (1965) dan oleh Pemerintah Indonesia Padang dijadikan ibukota provinsi Sumatera Barat berdasarkan UU. No. 5 tahun 1974.

[kembali ke atas]

Bangsa Asing di Kota Padang

Bangsa Belanda
Belanda telah datang ke pesisir pantai Sumatera Barat sejak abad 15 untuk mencari sumber emas dan lada karena Belanda enggan membeli dari Kerajaan Aceh maupun Kerajaan Johor yang menguasai perdagangan di selat Malaka.

Belanda umumnya singgah di Indrapura, Tiku, Pariaman dan Pasaman namun banyak kali gagal untuk membeli lada ataupun emas karena orang-orang Minang lebih senang menjualnya ke Kerajaan Aceh atau kepada pedagang Inggris.

Pada tahun 1660, Belanda pernah berkeinginan untuk memindahkan kantor perwakilan mereka dari Aceh ke Kota Padang dengan alasan lokasi dan udara yang lebih baik namun keinginan ini ditolak oleh penguasa kota Padang hingga akhirnya mereka berkantor di Salido.

Perjanjian Painan pada tahun 1663 yang diprakarsai oleh Groenewegen yang membuka pintu bagi Belanda untuk mendirikan loji di kota Padang, selain kantor perwakilan mereka di Tiku dan Pariaman. Dengan alasan keamaman kantor perwakilan di kota Padang dipindahkan ke pulau Cingkuk hingga pada tahun 1667 dipindahkan lagi ke kota Padang. Bangunan itu terbakar pada tahun 1669 dan dibangun kembali setahun kemudian.

Sejak perjanjian Painan, perdagangan lada di Kota Padang berangsur-angsur dikuasai Belanda apalagi sejak tahun 1666 dimana kekuasaan kerajaan Aceh di kota Padang yang sudah berlangsung sejak abad ke 16 secara resmi berakhir di Sumatera Barat karena diserbu Belanda selama 3 bulan maka Belanda praktis memonopoli semua perdagangan lada dan emas yang melalui kota Padang.

Pada bulan Agustus 1666, Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Verspreet yang terdiri dari 300 pasukan Belanda, 130 orang Bugis pimpinan Aru Palaka dan 100 orang Ambon dibawah Kapten Yonker berangkat dari Batavia ke kota Padang untuk memulai peperangan dengan Kerajaan Aceh. Perang yang dimulai tanggal 14 September 1666 dan berakhir tanggal 3 November 1666 berhasil mengusir orang-orang Aceh dengan bantuan sekitar 800 - 1000 orang kota Padang dibawah Orang Kayo Kecil atau Kaciak dari suku Massiang.

Bangsa Inggris
Tahun 1683, kapal Inggris (bukan dari East India Company) singgah ke kota Padang untuk membeli lada tetapi gagal. Pada bulan Februari 1686, kapal Inggris Royal James dengan 100 tentara datang ke Kota Padang . Namun sayang hampir semuanya meninggal karena penyakit.

Pada tahun 1793, Inggris mengambil alih kota Padang membuat benteng pertahanan di kota Padang. Inggris mengembalikan kota Padang ke Belanda pada tahun 1819 sebagai akibat dari Perang Napoleon.

Raffles datang ke kota Padang pada tahun 1818 dengan cita-citanya untuk membangun kembali Kerajaan Minangkabau.

Pada tahun 1867, lima buah kapal Inggris datang ke kota Padang untuk membeli lada namun penduduk lokal tidak mau menjual lada karena terikat perjanjian dengan Belanda.

Bangsa Perancis

Jauh sebelum Le Meme, Bajak Laut Perancis datang ke Padang, seorang laksamana Perancis bernama Montmorency pernah datang ke Sumatera Barat dan kemudian juga seorang laksamana d’Estaing. Mereka datang untuk menduduki bekas jajahan Inggris di pantai barat Sumatera seperti Tapanuli, Natal, Bengkulu, Padang dan kota kota kecil diselatan kota Padang. Hal ini terjadi sebagai akibat perang antara Inggris dan Perancis di anak benua India.

[kembali ke atas]

Koran Pertama Kota Padang

Sumatera Courant merupakan surat kabar pertama yang terbit di kota Padang, surat kabar ini berbahasa Belanda dan terbit seminggu sekali dengan kebanyakan berita berisi peristiwa lokal dan cerita. Tidak diketahui secara persis tahun penerbitan edisi pertamanya tetapi perusahaannya berdiri tahun 1859. Arsip tertua dari Sumatera Courant yang tersimpan di Perpustakaan Museum Nasional Jakarta bertahun 1863.

Tahun 1864 terbit sebuah surat kabar di kota Padang yang berbahasa Melayu dengan nama Bintang Timur yang hanya seumur jagung. Pemiliknya adalah seorang Belanda bernama Van Zadellhoft, pemilik toko buku di kota Padang. Bintang Timur memiliki Oplah 400 eksemplar dan terbit setiap hari Rabu jam 14.00 dan harus diambil sendiri oleh pelanggan kepercetakannya.

Pada tahun 1871 terbit sebuah surat kabar berbahasa Melayu kedua di kota Padang yang juga seumur jagung. Antara tahun 1870-an dan 1880-an surat kabar yang terbit mulai memasukan syair, pantun, cerita pendek, pelajaran bahasa Melayu dan semacam kamus bahasa kecil sebagai strategi marketing mereka. Strategi yang berhasil ini kemudian banyak ditiru daerah lain disekitar Sumatera Barat.

Pada tahun 1901, Datuk Sutan Marajo menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberinya nama Warta Berita yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia.

Bacaan menarik lainnya mengenai Surat Kabar yang terbit di Sumatera Barat ataupun Surat Kabar berbahasa Melayu dan beraksara latin pertama di Indonesia dapat dilihat di artikel : Surat Kabar Pertama di Indonesia

[kembali ke atas]

Serangan Bajak Laut ke Padang

Le Meme lahir di Saint Malo, Bretagne di pantai barat Perancis yang sejak kecil bercita-cita menjadi bajak laut. Perang Napoleon adalah awal karirnya, dengan sebuah kapal perang bermerian 12 dan berawak 80 orang pada bulan Juli 1793 Le Meme berangkat dari Ile de France en Bourbon (sekarang bernama Mauritus) di Samudera Hindia menuju Nusantara.

Pada bulan Agustus, Le Meme merampok kapal Belanda bertujuan Batavia dari kota Padang diselat Sunda, pada hari yang sama dia juga merampok dua buah kapal Cina dan keesokan harinya sebuah kapal Belanda lagi.

Dikemudian hari, Ia memimpin sebuah kapal yang lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap menuju kota Padang. Pasukan Le Meme mendarat di Air Bangis dan menyerang kota Padang melalui Bukit Padang yang terdapat sebuah benteng pertahanan Belanda yang telah kosong. Sebagian pasukan Le Meme menyerang dengan perahu dari Sungai Arau.

Le Meme menguasai dan menjarah kota Padang selama 16 hari dan merampok semua kekayaan Belanda dan meminta upeti dari penduduk kota Padang sebanyak 25.000 ringgit dari 75.000 ringgit yang diminta semula.

Le Meme meninggal dunia tanggal 30 Maret 1805 dalam perjalanan ke Inggris untuk diadili setelah kalah dalam pertempuran laut di Laut Arab tanggal 7 November 1804.

[kembali ke atas]

Komoditas Ekspor Kota Padang

Kota Padang menjadi terkenal pada akhir abad ke 19 karena merupakan kota pengekspor kopi dari dataran tinggi Minangkabau. Ekspor komoditi terpenting kota Padang selama 50 tahun mulai dari tahun 1850 - 1908 ialah kopi, rotan, lada, beras, pala, kulit pala, tembakau dan kopra. Kopra mulai di ekspor tahun 1883, tembakau dan pala pada tahun 1866 sedangkan beras berhenti di ekspor mulai tahun 1889. Amerika Serikat, Perancis dan Jawa adalah tujuan ekspor kopi dari kota Padang selain Belanda pada waktu itu.

Jalan kereta api juga dibangun untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi dari pedalaman ke kota Padang dan pelabuhan baru yang bernama Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) juga di bangun sekitar 7 kilometer disebelah selatan kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batubara dari tambang batubara Umbilin.

Kopi mulai dibudidayakan di Sumatera Barat akibat kebijakan tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda. Tanam paksa yang dijalankan oleh Belanda melalui Van den Bosch di Sumatera Barat tidaklah seberhasil tanam paksa di Jawa. Hal ini disebabkan Van den Bosch dan orang Belanda pada umumnya gagal melihat perbedaan karakter orang Jawa dan orang Minang.

Rakyat jawa selalu tunduk tanpa syarat pada pemimpinnya berapapun penderitaan dan tekanan yang diberikan, orang Jawa tidak akan memberontak selama yang melakukan tekanan dan penyebab penderitaan itu adalah pemimpin atau pemuka orang Jawa itu sendiri. Orang Minang memiliki budaya demokrasi dimana semua hal harus dihasilkan melalui musyawarah dan mufakat.

Reference:

Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan

Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu, 1988, Cetakan Kedua, Penerbit CV. Yasaguna.

Audrey R Kahin, Encyclopaedia of Asian History: Prepared under auspices of the asia society, Book 3, Padang, page 169, 1988, MacMilan Publishing Company

Susan Rodgers, Prints, Poetics and Politics: A Sumatran’s epic in the colonial Indies and New Order Indonesia, KITLV Press,Royal Netherlands Institutes of South East Asian and Caribbean Studies, Leiden, 2005

N Mac Leod, De Ost Indische Compagnie op Sumatera in de 17e. eeuw, Chapter 4, Page 1281 (IG No. 19, 1903)

E Francis, De Vestiging der Nederlanders ter Wesfkunst van Sumatera, 1856.

Profile Daerah dan Kota, Litbang Kompas, Jilid 2, 2003, Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar