
Ekspedisi Bingkai Nagari 23-30 juli 2007
Perjalanan untuk mempelajari budaya Mentawai ini tidak seperti yang diriku bayangkan, kembali diriku melakukan kecerobohan, berangkat kesuatu daerah terpencil tanpa kesiapan data yang akurat. Saya sudah mencari data tentang mentawai dan siberut tetapi data yang ada sangat terbatas sekali. Keterbelakangan mereka telah menjadi nilai jual yang tinggi disini. Budaya mereka yang unik membawa para bule mancanegara banyak yang berdatangan dan sekaligus mengajari mereka mengenal uang. Semua akses budaya mereka memanfaatkan untuk menghasikan pundi-pundi dolar. Saya yang berniat untuk menuju pedalaman Siberut tertahan selama dua hari dimuaranya, karena lalai tidak membawa surat jalan dari dinas pariwisata. Keunikan dan keindahan alam disini tidak didukung dengan fasilitas yang ada. Kapal yang berangkat dari muara padang sangat tidak memadai untuk melengkapi tujuan pariwisata ini. Ombak dan angin yang menerpa membuat kapal berbunyi-bunyi seperti deritan rumah tua. Kenyamanan memang jauh dari yang diinginkan, diseberut sendiri tidak ada pos pariwisata yang bisa memberikan informasi pada para pengunjung. Sarana jalan yang hanya 7 km menghubungkan antara dermaga dan pasar rakyat yang juga menjadi muara untuk transfortasi air dipulau ini. Sesekali kita juga dapat melihat masyarakat pedalaman yang masuk ke muara siberut untuk belanja keperluan mereka. Masyarakat Siberut yang identik dengan sikerei mempunyai keunikan tersendiri. Sikerei disini dikenal sebagai perangkat adat atau dukun.
Kemurnian masyarakat pedalaman yang masih memakai sarana alam untuk berpakaian atau bisa dibilang hanya seperempat bagian dari tubuh mereka yang tertutupi pakaian menjadi nilai eksotik tersendiri bagi pemburu budaya. Muara siberut seperti namanya merupakan sebuah perkampungan yang terletak di pinggir laut dan merupakan pertemuan sungai dengan laut. Kecamatan Siberut terbagi beberapa desa, yang tiap desanya mempunyai daya tarik tersendiri. Desa yang menjadi tujuan saya adalah sebuah desa yang berada dipedalaman Siberut, desa ini bernama Madobak. Menurut beberapa informasi untuk masuk kedesa Madobak kita harus mengeluarkan biaya 800 ribu sampai satu juta, tergantung negosiasi dengan pemilik angkutan. Perjalanan memakan waktu 3 sampai 4 jam. Desa madobak ini sangat dikenal oleh turis mancanegara untuk keperluan dokumentasi, penelitian hingga pembuatan film. Para sikerei ini juga pernah dibawa oleh para wisatawan kenegaranya untuk pembuatan film. Diatas desa Madobak masih ada desa-desa yang lain, desa yang paling mempunyai daya tarik adalah desa Skudai, karena desa ini cukup terisolasi dari desa terakhir yang bisa dicapai oleh angkutan air. Untuk mencapai desa Skudai kita harus melalui hutan dengan waktu tempuh satu sampai dua hari. Dan karena persiapan dan dana yag minim maka saya hanya menargetkan sampai desa Madobak.
Hari rabu malam saya mendapatkan informasi dari guide lokal bahwa ada alternatif transportasi untuk menuju Manobak, yaitu naik transfortasi rakyat yang diberi nama pompong. Pompong sejenis perahu yang diberi mesin dan bisa dinaiki sampai 7 orang. Untuk ke manobak dibutuhkan waktu 5 jam dengan pompong ini, dan biaya yang dibutuhkan hanya 15 ribu, cukup jauh berbeda kalau kita harus mencarter. Didermaga pompong tersebut ada sebuah penginapan yang khusus ditempati oleh orang-orang dari hulu sungai. Lokasi dermaga ini masih dimuara Siberut kurang lebih 500 m dari penginapan Syafruddin dan 300 mtr dari penginapan ibu tio. Penginapan yang ada di Muara Siberut hanya dua penginapan saja, penginapan Syafruddin terletak di pinggir muara sedangkan penginapan bu Tio berada lebih kedalam desa. Dipenginapan para penduduk hulu ini tidak dipugut bayaran karena memang dibangun oleh masyrakat dari hulu. Perjalanan sendiri ini membuat saya harus berpikir sistematis, karena saya hanya mengandalkan data yang saya dapat diinternet dan informasi dari masyrakat yang bisa ditemui di muara ini, dan sedikit was-was dengan keamanan peralatan.
Hari kamis pagi saya sudah berada di dermaga kecil yang biasa digunakan orang untuk pergi kehulu. Setelah bersosialisasi dengan beberapa masyrakat hulu yang berada disana, saya dan beberapa orang yang akan menuju kehulu menaiki perahu dan mulai merayap menyusuri sungai. Pukul sembilan pagi matahari cukup terik menjalari tubuh dan saya cukup mengkuatirkan keselamatan peralatan yang saya bawa andai perahu terbalik. Diperahu ada 9 orang penumpang yang terdiri seorang sikerei beserta istri dan seorang anak wanitanya berumur 5 tahun, ketua pemuda desa madobak dengan istri beserta dua orang anaknya yang berumur satu dan tiga tahun, operator perahu dan saya sendiri. Perjalanan menuju desa Madobak cukup mengasikkan, melalui sungai yang berliku dan pemandangan hutan yang masih asli membuat pikiranku bisa santai sejenak menikmati sang alam.
Akhirnya kami sampai didesa madobak kamis sore hari pukul 3. Sebelumnya sang sikerei beserta istri dan anaknya turun di daerah hutan sebelum desa. Menurut keterangan pak anggelo (ketua pemuda), sikerei tersebut harus melanjutkan perjalanan kembali selama satu hari perjalanan darat dengan berjalan kaki menuju desanya. Kedatangan saya kedesa ini disambut dengan wajah-wajah lugu anak-anak kecil yang berdiri ditebing sungai. Didesa ini saya mendapatkan penginapan atau bisa disebut home stay yang cukup memadai, tempat nginap tersebut memang sengaja diperuntukkan bagi para pendatang yang lagi punya keperluan atau hanya ingin melihat-lihat desa ini. Home stay tersebut dibangun oleh Pak Marinus (kepala sekolah SD Negeri 07 madobak) didepan sekolah yang dikepalainya. Home Stay ini mempunyai 6 kamar dengan fasilitas yang minim tetapi bersih dan cukup murah, kita hanya mengeluarkan uang 25 ribu perorang untuk menginap disana. Didesa ini belum ada pasilitas penerangan, para penduduk hanya memakai lampu yang bersumber dari tenaga surya, peralatan ini katanya merupakan sumbangan dari sebuah organisasi internasional. Didesa ini juga hanya terdapat 2 televisi, salah satunya dirumah pak Marinus. Kehidupan masyarakat yang hanya berpenghasilan dari ladang dan hutan membuat kehidupan didesa ini berada dibawah garis kemiskinan, tetapi dengan adanya 150 lebih anak-anak yang masuk SD disini, saya yakin niat mereka untuk berubah menjadi lebih baik sangat besar. Diluar lingkungan SD dan rumah para guru dan kepala sekolah yang saya tempati terdapat perkampungan penduduk asli Madobak. Rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia ini menjadi cirikhas rumah penduduk didesa ini. Didesa ini kita saya hanya bisa membeli makanan di rumah pak marinus, karena hanya ada satu warung di desa Manobak yang juga kepunyaan pak Marinus. Disini saya kebetulan mendapatkan teman yang juga lagi meneliti tentang hukum yang berlaku di bumi sikerei ini. Pak Za saya mengenalnya sebagai seorang Dosen Hukum yang lagi menyelesaikan S3 nya, dan mengambil bahan penelitian didesa ini. Dengan banyak berdiskusi dengan ahli hukum ini, pemikiran saya juga jadi terbuka tentang arti sebuah ilmu pengetahuan dan fungsinya bagi masyarakat yang ada disekitar kita. Disini saya mulai menyadari bahwa semua sudut kehidupan mempunyai kandungan ilmu yang dapat kita pelajari dan bisa menjai dasar pemikiran bagi kita sendiri untuk membantu orang-orang yang berada di sekitar kita (maaf malah jadi ngelantur…).
Disekitar desa Madobak ada beberapa desa lagi, yang terdekat kita bisa berjalan kedesa Ugai dengan waktu tempuh satu jam. Didesa ini juga ada sekolah dasar dan kehidupan para penduduknya juga hampir sama dengan Manobak. Dibawah desa Manobak ada desa Rok dok, yang kehidupan desanya lebih sedikit maju dari desa Manobak. Kepulauan mentawai terdiri dari empat pulau besar (Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan), yang terbagi atas lima kecamatan. Siberut yang menjadi bagian dari Mentawai merupakan wilayah sentral budaya yang dikenal dengan bumi sikerei. Sikerei yang menjadi lambang kebudayaan masyrakat mentawai merupakan perangkat adat dari kebudayaan mereka. Sikerei disini berpungsi sebagai dokter yang bertanggung jawab atas kesehatan sukunya. Sikerei mempunyai ilmu pengobatan yang didapat turun-temurun dari sikerei terdahulu, semua aturan-aturan tersebut hanya tertulis dengan jelas. Di Siberut juga tidak ditemui prasasti-prasasti yang menerangkan keberadaan sebuah kerajaan di negeri sikerei ini, butanya informasi tentang asal usul para MedicineMan ini membuat bayak para peneliti tertarik untuk mempelajari budaya dan kehidupan penduduk asli mentawai ini.
Bersambung ke Mentawai in My Dream II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar