Sabtu, 11 September 2010

Pagi Untuk Mengingat Mereka

Entah mengapa pagi ini begitu menyesakkan, bagun dan menyesali diri. Berpikir harus berbuat apa, bergerak tak jelas harus mengapa, hingga akhirnya ingat mereka yang juga gelisah dizamannya tapi tetap berbuat dan tidak hanya diam. Ku mulai dengan mengingat Soe Hok Gie, pemuda pemberontak yang meninggal dipuncak gunung karena terlambat turun ketika gas beracun keluar dari perut semeru 16 Desember 1969. Pemuda yang tetap pada jalur kejujuran dirinya ketika rezim baru menawarkan setumpuk kesenangan. pemuda yang lantang memprotes Soekarno ketika mulai otoriter dan Hatta mengundurkan diri sebagai wakilnya. Ketika Soekarno mulai memenjarakan lawan2 politiknya, ketika Soekarno gagal dalam membangun ekonomi. Jadilah dia orang yang terdepan yang berteriak lantang hingga runtuhnya kekuasaan pemimpin besar revolusi itu. Dan orang yang tetap dijalurnya ketika teman2 seperjuangannya mulai mencicipi kekuasaan ode baru, duduk bersanding menikmati darah2 rakyat. Ah ... salahkah diriku protes, tapi diriku juga kebingungan melihat sepak terjang penguasa bangsa ini, yang berteriak tapi tidak pernah jelas tentang apa, yang berjalan gagah tapi memakai pakaian dari darah rakyatnya. Itu seperti sudah biasa, hari ini mereka bercerita lantang di mimbar Jum'at, esoknya terdengar cerita nista menghinggapi nuraninya. Bangsa ini hidup dengan darah mereka yang terlupakan, wajar dan sangat wajar ketika Tan Malaka berteriak menyesal didalam kuburnya, kuburnya yang baru diakui sebagai kubur pahlawan setelah terlupakan dalam sejarah, masih ingat hingga diriku tamat nama bapak yg satu ini hanya tersebut sebagai duri perjuangan. Dinegara sendiri hanya sebagai seorang yang menyedihkan, untunglah masih ada yang tergerak mencari bukti siapa Bung yang satu ini, Kalau tidak semua akan terkubur entah sampai kapan. Manusia yang disegani dan diperhitungkan oleh Mao Tse Tung, Chiang kai Sek, Davidovich Trotski, Vladimir Lenin atau Josef Stalin karena takut merusak ide2 mereka. Bung yang satu ini juga adalah tokoh dunia, tokoh yang menjadi guru imajiner bagi Ho Chi Minh (bapak bangsa Vietnam), Aung San (ayah Aung San Syu Ki) dan bahkan Joseph Tito. Orang-orang besar itu mengakuinya, lalu mengapa kita lupa. Ah .. itu hanya segelintir cerita, mungkin akan mulai dilupakan oleh mereka yang mulai sibuk mencari sesuap nasi. Mereka yang tak tau lagi dimana makam pahlawan atau mulai bingung ikut pilkada hanya karena tetangga yakin akan kegantengan seorang pemimpin. Prioritas apa lagi yang perlu di lalui, ketika pendidikan murah disorakkan dimana2, ternyata hanya omong kosong, karena anakku yang SD tetap membeli buku cetak yang katanya di berikan geratis oleh dana yang di sebut BOS. Negara ini emang membingungkan, sibuk dengan sesuatu yang tidak jelas, ketika sesuatu yang telah nyaman kembali dirombak agar ada sebuah kekuasaan yang bercokol disana. Kebingungan yang bicara tentang kekuasaan yg dibelakangnya dipasang simbol agama, sedangkan masih ada saudara2 kita yang masih terlantar hidup bertahun dipengungsian masih tetap setia menunggu janji2 para penguasa yang mulai bertengger di jabatannya, Lupa akan janji, mulai pasang arogansi .... Wajar ketika si Bung meludah ketanah melihat wajah2 palsu duduk diantara tepukan para penjilat yang mulai merapat. Entahlah itu hanya sedikit hiburan hidup yang kita tonton setiap hari di sebuah kotak ajaib yang telah menyedot perhatian bangsa ini, hingga rela duduk berjam-jam didepannya dan menjadi manusia yang tidak produktif lagi. Duduk di lapau2 tua, membahas politik dan video porno, sedangkan anak mereka tak jelas harus memakai seragam apa pagi ini. Bercerita tentang politik praktis sedangkan mereka tak sadar menjadi korban pembodohan para penguasa. Dan sang ibu duduk memegang sayur didepan sang kotak melihat cerita aib sang selebritis agar bisa mencari bahan gosip yg tetap update nanti di arisan. Ah... mereka sangat beruntung menjadi manusia dalam beban yang tidak pernah merasa menjadi beban. Sudahlah nanti kita cerita lagi setelah ku selesaikan sedikit kewajiban pagi ini. [R. Kiwi Sudarsho : hanya sekedar cerita gelisah]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar