Selasa, 16 November 2010

Sendal itu masih disana



Suasana terasa dingin, dengan hujan yang turun rintik sore itu. Azan berkumandang memanggil insan untuk kembali menghadap kepadanya. Menghadap sujud dan mengucap syukur kepada semua yang telah diberikannya. Panggilan itu menjadi panggilan sesungguhnya buat lelaki tua yang tegar itu. Selesai sudah azan magrib, dirinyapun kembali kehadiratnya, kembali kepada yang kuasa yang telah memberinya kehidupan. Wajah itu masih tampak tegar, wajah itu masih tampak mengasihi, karena waktu tahu tubuh tua itu sangat mengasihi anak-anaknya. Masih seperti 13 tahun yang lalu, semua tampak jelas dan masih tersimpan rapi dalam memori hatiku. Dari banyak manusia yang hadir dalam perjalanan hidupku, lelaki ini menjadi salah satu yang merubah cara pandang ku tentang cara berbuat diatas dunia. Baginya semua serba gampang, walau diriku tahu semua sebenarnya berat. Belum lagi ayam berkokok tubuh itu harus sudah bangun untuk menunaikan kewajiban, lalu bersiap untuk berangkat mencari sedikit harapan diluar sana. Diriku rasa kabut juga tak akan membantah semua memori hidupnya, dia diam tapi bergerak, walaupun sedikit yang tampak tapi menjadi bongkahan pelajaran dalam benakku. Kabut turun bersama gerimis, sesekali kepalanya mengadah melihat langit, kutahu bukan doa dan meminta sifatnya, tapi hanya memastikan agar hujan tak turun dipagi ini. Kaki kembali menapak jalan2 tanah itu dengan sedikit siaga memandang sekeliling, bukan apa2 dan juga bukan karena ada apa, tapi hanya saja matanya tak lagi seterang waktu yang lalu, waktu katanya dirinya masih bisa bermain dan bercerita tentang kegembiraan masa muda dengan teman-temannya dilapau dekat rumah orang tua istrinya dikampung itu. Semua terlalu cepat bagiku, terlalu banyak yang belum kuberikan pada tubuh kecil itu, terlalu sering ku merindukan ceritanya. Raut wajah tua penuh sejarah, badan kecil yang membawa banyak kesabaran, semoga itu menjadi warisan yang tertinggal untuk kami anak-anak mu. Pria itu sudah menjadi ayahku sejak pertama bertemu, itu 13 tahun yang lalu, karena diriku percaya mata itu memberikan cinta yang tulus untuk menghargai semua manusia yang ditemuinya. Memang bukan harta yang di sisakan untuk dunia ini, dan juga bukan nama besar yang dikenang semua orang tapi lebih pada kenangan akan seorang yang menerima hidup lebih dari orang lain. Baru pagi ini bisa diriku ceritakan tentang beliau bukan karena lupa, tapi lebih karena bening dimata tak akan bisa hilang bila wajah itu kembali dalam bayang. Kearifan dirinya kembali terbukti ketika waktu menerjang kisah kami, kisah dua anak manusia yang hanya ingin menyatukan hidup, kasta dan adat menjadi alasan sang penjagal mengiring pesakitan pada aturan yang tak pernah jelas. Tapi beliau menerima ketidakadilan itu dengan tetap berbicara tulus pada diri ini. Tampak rela melepas status demi sebuah buah cinta yang dikasihinya, terima kasih untuk itu, terima kasih memberi sedikit kasihmu pada diriku. Waktupun berlalu hingga diriku bisa menyembahkan cucu untuk dirimu, berlalu tanpa beban, bercerita bersama, menuai sedikit hari dengan tawa. Akhirnya semua berjalan dengan apa adanya, seperti cerita dan kehidupan yang dirimu lalui. Tapi bagi diriku tubuh kecil itu pahlawan dalam memberi pelajaran hidup bagiku. Sepasang sandal baru masih tersimpan rapi dilemari rumah itu, sandal yang dirimu beli untuk sedikit menghibur diri dengan cucu-cucu. Tapi sandal itu tetap disana hingga hari ini. Selamat jalan ayah, diriku pastikan semua baik2 saja disini dan akan selalu mengenang dirimu dialam sana, karena diriku tahu kalau dirimu meninggalkan warisan hidup dan ketegaran pada anak dan cucumu. Semoga kami mengikuti dan belajar banyak dari ketabahan dan perjuanganmu. [untuk seorang pria kecil berjiwa besar yang kupanggil Ayah].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar