Selasa, 15 Maret 2011

Cerita masa lalu dipagi ini



Musik itu mulai terdengar riuh diluar sana, ibu-ibu komplek mulai berdatangan berjejer rapi untuk memulai senam jantung sehat pagi ini. Kebiasaan yang dilakukan setiap hari rabu pagi disamping kontrakan ku. Tidak ada kegiatan hari ini yg bisa diriku lakukan, semua menunggu jadwal untuk turun ke lapangan, hidupkan Macbook dan online untuk sesaat membaca berita yang ada dibeberapa portal. Sungguh gampang hidup diera teknologi seperti hari ini, kita tidak perlu membeli koran atau majalah. Dengan 45.000 sebulan diriku bisa mendapatkan seluruh berita yang kumau pagi ini, walaupun dengan sedikit jengkel kalau sinyal sedang naik turun. Itu cerita lain, sekarang buka email untuk melihat apa yg ada di kotak suratku pagi ini, biasanya beberapa undangan dan cerita seru yang dikirim beberapa teman dari beberapa kota. Tidak seperti dulu, kalau ingin membaca diriku harus berdiri berjam-jam di toko buku untuk menamatkan satu buku, karena untuk membeli sebuah buku harus menabung satu bulan dari sisa hasil kerja menjadi buruh di sebuah toko. Itu cerita lama dari ilusi anak kampung yang matanya akan berbinar dengan sedikit mulut ternganga kalau mendengar cerita tentang besarnya metropolitan. Sekarang sedikit cerita itu telah terlewati, keagungan sebuah kota kita menjadi cerita biasa yang kukaji dengan kebiasaan juga, cerita tentang kebaratan yang masih bisa ku kaji dengan kesederhanaan yang sebenarnya terlalu dibesarkan oleh orang-orang disekitarku dimasa itu. Itu juga dimasa lalu, masa yang membentuk pikiranku untuk selalu bergerak menuju sebuah titik, walaupun itu gerak perlahan kami dari R10 menuju pintu rimba lalu berbanjar memasuki bangku panjang dan istirahat sejenak di bawah pohon besar di shelter satu, hingga tenda terpancang di shelter dua untuk menunggu mentari terbit esok hari di cadas agar bisa duduk bangga di puncak itu, dipuncak tertinggi Sumatera. Diriku masih ingat pagi itu didepan kantorku di kota minyak, sarapan pagi diantara sepinya pengunjung. Seorang paktua berbaju lusuh dan sandal jepit duduk di depanku, kami bercerita tentang kesibukan manusia pagi itu, ada sedikit tawaran untuk sarapan bersama dariku, bukan cari muka tapi kebiasaan yang dilakukan dilingkunganku mengharuskan seperti itu. Pak tua bertanya sopan, apakah aku akan mebelikan apabila dia memakan makanan itu?, tentu saja begitu jawabku keheranan, karena dalam hidupku diajarkan untuk berbagi dengan siapapun dan dimanapun berada. Itu hanya cerita kecil yang akhirnya berlanjut beberapa bulan kemudian diriku jumpa kembali dengan si tua itu. Duduk manis diatas jeep tua dan menyapa ku untuk ikut serta sore itu, ditempat awal kami jumpa dan tidak saling kenal nama. Kami berkeliling perkebunan puluhan hektar, ditengahnya berdiri megah sebuah rumah yang ternyata milik situa, kembali alam mengajar diriku untuk tetap rendah agar bisa menikmati yang mustahil. Itu masih cerita lama, dari keinginan baru untuk mensejajarkan diri dengan cerita lain tentang keagungan manusia-manusia di bumi. Ini cerita lain lagi tentang kesederhanaan hidup insan ciptaan sang kuasa yang dipanggil tuhan, pagi masih terlalu pagi untuk disebut pagi hari, kakiku bergerak melangkah menyusuri rimbunnya belukar lembah harau, mengambil beberapa gambar lalu bergerak kembali dengan motorku menyusuri jalan raya sang harau. Pagi tu masih terasa dingin diantara jatuhnya air disisi tebing yang tak tahu berumur berapa dikikis air yang jatuh kesisi bawahnya, mencari sudut lagi kembali bergerak keluar dengan kesendiriaanku diantara sunyinya alam pagi itu. Lalu lelah hinggap, membuat diriku duduk sejenak menikmati sang pipit mengambil padi yang akan dipanen, sesaat jadi berharga ketika seorang tua menurunkan sekarung rumput dan duduk diatasnya untuk melepas lelah, lelah yang bukan seperti diriku rasakan. Sapaan waktu membuat teguran dan mengalirlah cerita, tentunya cerita sang kakek tua yang terkurung waktu disudut sepi ini, 63 tahun hidupnya hanya berputar diantara lembah ini dan sesekali berwisata ke kota payakumbuh yang hanya berjarak 20 km dari posisi duduknya pagi itu. Terkurung waktu dan selalu berputar diantara ketakutan bergerak jauh, zona aman kata itu yg kuhindari agar selalu berputar dibumi yg luas ini. Itu juga hanya cerita lalu , lalu bagaimana dengan cerita esok hari ?, cerita yang dibangun untuk diceritakan kembali suatu saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar